“Di dalam hati mereka ada penyakit,
maka Allah menambah penyakit tersebut, dan mereka akan mendapatkan siksa
yang pedih akibat apa yang mereka dustakan“. (QS. Al-Baqarah: 10)
Ada beberapa pelajaran dari ayat di atas, di antaranya:
Pertama: Menurut al-Baidhowi di dalam tafsirnya (1/166), sakit
adalah sesuatu yang mengganggu keseimbangan badan sehingga membuat
kerusakan di dalam beraktifitas. Sakit dibagi menjadi dua, sakit hati
dan sakit fisik. Adapun sakit hati meliputi: sakit ragu-ragu, nifak,
ingkar dan dusta. (lihat tafsir al-Qurthubi: 1/138). Penyakit –penyakit
hati seperti inilah yang menimpa orang-orang munafik.
Selain itu, terdapat penyakit hati dalam
bentuk lain, seperti sakit hasad, dengki, iri, dan dendam yang kadang
juga menimpa sebagian orang-orang Islam. Oleh karenanya, kita
diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari penyakit hati tersebut,
sebagaimana firman Allah dalam Qs. al-Falaq: 5, “Dan aku berlindung dari kejahatan orang yang hasad jika dia hasad“
Kedua: Penyakit hati jauh lebih berbahaya dari penyakit fisik, hal itu karena beberapa sebab:
1. Allah mencela orang yang mempunyai penyakit hati dan tidak pernah mencela orang yang mempunyai penyakit fisik.
2. Penyakit hati, seperti iri, dengki dan dendam bisa menyebabkan
munculnya penyakit fisik, seperti stress, sesak nafas, pusing, jantung,
tekanan darah tinggi dan kanker.
3. Penyakit hati menyebabkan orang celaka dunia dan akhirat, berbeda
dengan penyakit fisik yang tidak menyebabkan celaka di akherat.
Ketiga: Allah menyebutkan: “Di dalam hati mereka ada
penyakit“ ini menunjukkan bahwa penyakit tersebut sudah masuk ke dalam
tubuh secara permanen, sehingga menjadi akut dan susah untuk
dihilangkan, karena berada di dalam hati. Berbeda kalau menyebut: “
Mereka sakit “, mungkin masih bisa disembuhkan.
Keempat: “Maka Allah menambah penyakit tersebut“, menunjukkan
bahwa kekafiran, kenifak-an dan kemaksiatan itu bisa bertambah dan
berkurang, sebagaimana juga keimanan itu bisa bertambah dan berkurang.
Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Kelima: Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kesesatan
seorang hamba berasal dari perbuataannya sendiri. Jadi, Allah tidak
mendzoliminya, tetapi hamba itulah yang mendzalimi dirinya sendiri.
Orang-orang munafik telah membuat penyakit di dalam hati mereka sendiri
dan pada hakekatnya mereka tidak menginginkan kebenaran dan kebaikan.
Maka, Allah menambah penyakit tersebut sebagai hukuman atas perbuatan
mereka sendiri. Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (1/179): “Hukuman
sesuai dengan perbuatan”. Hal yang serupa telah dijelaskan Allah di
beberapa ayat-Nya, seperti dalam Qs. al-Baqarah: 10, Qs. al-Maidah: 49,
Qs. al-An’am: 110 dan Qs. ash-Shof: 5.
Kelima: Penyakit hati terdiri dari penyakit syahwat dan
syubhat. Penyakit syahwat berhubungan dengan maksiat anggota badan,
seperti berzina, membunuh, berbohong dan mencuri. Sedang penyakit
syubhat berhubungan dengan hati dan pemikiran, seperti meragukan
kebenaran Islam, menolak hadist shahih dan menyakini adanya nabi setelah
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Penyakit syubhat inilah
yang lebih menonjol dalam diri orang munafik, (Ibnu Qayyim, Ighatsatu al-Lahfan:
165-166) dan ini lebih berbahaya dari penyakit syahwat. Karena
penderitanya susah untuk disembuhkan. Lihat Qs. an-Nisa : 137 dan Qs.
al-Munafiqun: 3.
Keenam: Penyakit syubhat bisa mengeluarkan seseorang
dari keimanan sehingga menjadi kafir, seperti orang–orang liberal yang
meragukan keaslian al-Qur’an dan menolak kebenaran ajaran Islam serta
menyatakan bahwa semua agama benar dan mengantarkan penganutnya ke dalam
Syurga. Begitu juga kelompok Ahmadiyah yang menyakini adanya nabi
seteIah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kelompok
Ingkar Sunnah yang menolak keberadaan as-Sunnah sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an.
Ketujuh: Untuk mengobati penyakit syhubhat, seseorang
hendaknya belajar dan mencari ilmu syar’i, sebagaimana firman Allah di
dalam Qs. Muhammad: 19; “Maka ketahuilah bahwa tiada Ilah yang berhak
disembah kecuali Allah“. Adapun untuk mengobati penyakit syahwat,
seseorang hendaknya sering mengingat kematian dan menyakini bahwa dunia
ini adalah fana, kesenangan di dalamnya adalah kesenangan sedikit dan
menipu. Sedangkan kesenangan abadi hanyalah di akhirat kelak. Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (kematian)”. HR. Tirmidzi “. Wallahu A’lam
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
sumber: ahmadzain.com